Perdagangan bebas terus bergulir dan sulit untuk dihindari. Terlebih
di era kecanggihan informasi dan teknologi seperti sekarang ini, apapun
bisa di perjual belikan dengan mudah dan cepat, meski tanpa harus
bertemu muka antara produsen dan kosumen di dua wilayah yang berjauhan.
Akibatnya persaingan bisnis pun saat ini menjadi semakin ketat dan
keras. Kalau dulu pesaing kita adalah “pemain” lokal, kini kita akan
berhadapan dengan “pemain-pemain” berskala nasional, regional bahkan
internasional. Bukan hanya itu, dalam perkembangannya persaingan bisnis
saat ini cenderung mengarah pada praktik persaingan liar yang
menghalalkan segala cara (machiavelistik).
Istilah persaingan
usaha yang sehat kini terasa semakin berkembang di tanah air. Tidak
hanya bagi kalangan ahli hukum dan akademisi melainkan juga di kalangan
masyarakat, perlahan tetapi pasti mulai memahami dan menyadari tujuan
dan manfaat dari kelahiran UU No. 5 tahun1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Peluang-peluang usaha
yang tercipta selama dasawarsa yang lalu dalarn kenyataannya belum
membuat seluruh masyarakat mampu dan berpartisipasi dalam pembangunan
di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama periode
tersebut di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan
pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di
sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar
merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.
Fenomena
di atas telah berkembang didukung oleh adanya hubungan saling terkait
antara pengambil keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara
langsung maupun tidak langsung, sehingga memperburuk keadaan.
Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33
Undang-undang Dasar 1945, serta cenderung menampakkan corak yang sangat
monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan
mendapatkan jatah berlebih, sehingga berdampak pada munculnya
kesenjangan sosial. Munculya konglomerasi dan sekelompok kecil
pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati
merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi
menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.
Perkembangan
bisnis di Indonesia telah menyebabkan timbulnya kelompok-kelompok
raksasa konglomerat. Di samping ada unsur positifnya, perkembangan
tersebut telah menimbulkan dampak negatif berupa tidak terlindunginya
usaha kecil maupun konsumen. Monopoli dan trust telah menjadi masalah
yang krusial di negeri ini.
Dalam melakukan kegiatan usaha di
Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dengan
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum. Kegiatan yang dilarang dalam praktek bisnis adalah
monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, persekongkolan, posisi dominan,
jabatan rangkap, pemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan
sejenis (Elsi Kartika Sari, Hukum dalam Ekonomi, Grasindo, Jakarta,
2007. hlm. 172).
Persoalan monopoli sesungguhnya merupakan
persoalan yang sangat menarik untuk dibahas. Bahkan permasalahan ini
telah mendapat perhatian yang sangat serius dari ajaran Islam,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT: "...agar harta itu jangan
hanya berputar di kalangan orang-orang kaya di antara kamu sekalian..."
(QS 59: 7). Selain riba, monopoli adalah komponen utama yang akan
membuat kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok, sehingga
menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi.
Para ulama terkemuka
abad pertengahan pun, seperti Ibn Taimiyyah, Ibn al-Qayyim
al-Jauziyyah, dan Ibn Khaldun, telah pula melakukan kajian yang
mendalam tentang praktik monopoli. Ibn Taimiyyah misalnya, dalam
kitabnya Al-Hisbah fil Islam menyatakan bahwa ajaran Islam sangat
mendorong kebebasan untuk melakukan aktivitas ekonomi sepanjang tidak
bertentangan dengan aturan agama.
Negara bertanggung jawab penuh
untuk menciptakan keadilan ekonomi, dengan memberikan kesempatan kepada
setiap individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Karena
itulah, beliau menekankan pentingnya keberadaan lembaga al-Hisbah
sebagai organ negara yang bertugas untuk memonitor pasar, mengawasi
kondisi perekonomian dan sekaligus mengambil tindakan jika terjadi
ketidakseimbangan pasar akibat monopoli dan praktik-praktik lain yang
tidak sesuai dengan syariat Islam. Pendapat senada juga diungkapkan
oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya At-Turuk al-Hukmiyyah
(Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: IIIT, 2002, hlm.151).
Sementara
itu, Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimah juga menyatakan pentingnya
peran negara dalam menciptakan keadilan ekonomi dan keseimbangan pasar.
Ia menegaskan bahwa pajak (dan juga denda) adalah instrumen yang dapat
digunakan oleh negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sekaligus
untuk mengeliminasi praktik-praktik kecurangan yang terjadi di pasar,
termasuk praktik-praktik monopoli yang dilakukan oleh segelintir
pebisnis.
Monopoli dalam Hukum Nasional
Monopoli
diartikan sebagai sebuah pasar yang hanya memiliki satu penjual
(produsen) tetapi memiliki banyak pembeli (Pindyck, Robert S., and
Daniel Rubinfeld, Microeconomics, sixth edition (New Jersey: Prentice
Hall), 2005, hlm. 339). Dengan demikian, penawaran monopolis sekaligus
juga sebagai penawaran pasar (industri), dengan kata lain permintaan
terhadap output perusahaan merupakan permintaan industri. Dapat
dikatakan bahwa monopolis tidak memiliki kompetitor. Dalam kenyataannya
jarang ditemukan monopoli murni (pure monopoly), yang banyak ditemukan
adalah kondisi di mana hanya terdapat sedikit perusahaan (produsen)
yang bersaing di dalam pasar.
Secara umum pasar monopoli dicirikan oleh karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
1. Pasar monopoli adalah pasar dengan satu perusahaan (produsen).
2. Tidak mempunyai barang pengganti yang mirip (close substitution).
3. Tidak ada kemungkinan untuk masuk dalam industri, hambatan masuk ke dalam pasar (entry barrier) sangat tinggi.
4. Monopolis menguasai penentuan harga (price setter).
5. Promosi iklan kurang diperlukan
Berdasarkan karakteristik ke empat, monopolis memiliki apa yang disebut
sebagi market power, yaitu kekuatan/kemampuan untuk menentukan harga
dari suatu barang di pasar. Sumber-sumber market power yang dimiliki
oleh monopolis, dalam hal ini disebut sebagai monopoly power antara
lain adalah: (i) elastisitas permintaan pasar, (ii) jumlah perusahaan
dalam pasar, (iii) interaksi di antara perusahaan di dalam pasar.
Dalam
pandangan hukum nasional, monopoli tentu dilarang. Hal itu sesuai
dengan Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Monopoli dalam Hukum Islam
Pada
dasarnya dalam ekonomi Islam, monopoli tidak dilarang, siapapun boleh
berusaha/berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual
(monopoli) atau ada penjual lain, asalkan tidak melanggar nilai-nilai
Islam. Dalam hal ini yang dilarang berkaitan dengan monopoli adalah
ikhtikar, yaitu kegiatan menjual lebih sedikit barang dari yang
seharusnya sehingga harga menjadi naik untuk mendapatkan keuntungan di
atas keuntungan normal, di dalam istilah ekonomi kegiatan ini disebut
sebagai monopoly’s rent seeking behaviour. Sehingga sekarang dapat
dibedakan antara monopoli dan ikhtikar dalam terminology ekonomi Islam.
Pelarangan ikhtikar bersumber dari Hadits Rasulullah SAW yang
menyatakan bahwa. “Tidaklah orang melakukan ikhtikar kecuali ia
berdosa.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dalam
riwayat yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa memonopoli
bahan makanan selama empat puluh hari, maka sesungguhnya ia telah
berlepas diri dari Allah dan Allah berlepas diri darinya.” (HR Ahmad)
Dalam
hal ini terdapat perbedaan pendapat mengenai dua hal tentang ikhtikar
di antara para ahli fiqih, yakni jenis barang dan waktu diharamkannya
ikhtikar. Karena keterbatasan referensi, alam pembahasan mengenai hal
tersebut, penulis hanya dapat mengutip pendapat beberapa ahli fikih
yakni pendapat Imam al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi. Menurut Imam
al-Ghazali pengharaman ikhtikar hanya terbatas pada barang-barang
kebutuhan pokok, selain kebutuhan pokok termasuk penopang bahan makanan
pokok seperti obat-obatan, jamu-jamuan, wewangian, dan sebagainya tidak
dikenakan larangan meskipun termasuk barang yang dimakan. Pendapat ini
berbeda dengan pendapat Yusuf Qardhawi yang menurutnya pengharaman
ikhtikar tidak terbatas pada barang kebutuhan pokok saja melainkan
barang yang dibutuhkan manusia, baik makan pokok, obat-obatan, pakaian,
peralatan sekolah, peraabotan rumah tangga, dan lain sebagainya.
Waktu
pelarangan ikhtikar menurut Imam al-Ghazali adalah dikhususkan pada
waktu persediaan bahan makanan sangat sedikit sementara orang-orang
sangat membutuhkannya, sehingga tindakan menangguhkan penjualan dapat
menimbulkan bahaya. Namun jika bahan makanan berlimpah ruah dan orang
tidak begitu membutuhkan dan menginginkannya kecuali dengan harga yang
rendahk kemudian penjual menunggu perubahan kondisi itu dan tidak
menunggu sampai paceklik, maka tindakan ikhtikar tidak termasuk
tindakan yang membahayakan tersebut.
Dari uraian di atas dapat
disimpulakan bahwa terdapat tiga syarat ikhtikar menurut Imam
al-Ghazali, yakni: (i) obyek penimbunan merupakan barang-barang
kebutuhan masyarakat; (ii) waktu penimbunan adalah pada waktu
persediaan bahan makanan sangat sedikit, atau dapat dikatakan pada masa
paceklik, (iii) tujuan penimbunan adalah untuk meraih keuntungan di
atas keuntungan normal. Sehingga tindakan untuk menyimpan barang untuk
keperluan persediaan tidak dilarang.
Secara singkat, Adiwarman Karim
menyatakan bahwa suatu kegiatan masuk ke dalam kategori ikhtikar
apabila terpenuhinya syarat-syarat di bawah ini:
1.
Mengupayakan adanya kelangkaan barang, baik dengan cara menimbun stok
atau mengenakan hambatan masuk kepada perusahaan lain untuk masuk ke
dalam pasar (entry barriers).
2. Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibangingkan dengan harga sebelum munculnya kelangkaan.
3. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum syarat 1 dan 2 dilakukan.
Pandangan
ekonomi Islam terfokus pada masalah mekanisme penentuan harga, yang di
dalam monopoli (dengan ikhtikar) yang cenderung berpotensi merugikan
konsumen di satu pihak dan menguntungkan produsen di pihak lain, sebab
harga ditentukan lebih berorientasi kepada kepentingan produsen saja.
Dalam ajaran Islam, meskipun keuntungan yang dihasilkan tanpa melakukan
ikhtikar lebih sedikit, akan tetapi merupakan keutungan yang
mencerminkan keadilan baik untuk penjual (produsen) maupun untuk
pembeli (konsumen), atau dengan kata lain harga harus mencerminkan
keadilan baik dari sisi produsen maupun konsumen. Hal tersebut
dikaitkan dengan parameter etis yang dapat merepresentasikan ajaran
Islam. Selain keadilan (adl), paremeter etis yang membedakan ajaran
ekonomi Islam dan ekonomi konvensional adalah kesederhanaan, dan
persaudaraan.
Islam merupakan satu-satunya agama yang
mengemukakan prinsip-prinsip yang meliputi semua segi kehidupan
manusia, tidak hanya membicarakan tentang nilai-nilai ekonomi. Islam
juga telah menanamkan kerangka kerja yang luas berdasarkan kesempatan
berekonomi yang sama dan adil bagi penganutnya untuk mengarahkan mereka
ke arah kehidupan ekonomi yang seimbang.
Sebagai agama yang
komprehensif tentunya aktivitas ekonomi sebagai kegiatan vital
kemanusiaan tidak luput dari perhatian. “Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba” (QS Al-Baqarah [2]: 275), Ayat-ayat inilah
yang menunjukkan sebagian dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang
merujuk pada aktivitas ekonomi.
Fakta Yuridis
Fakta
yuridus yang terjadi di lapangan adalah masih banyaknya praktek
monopoli yang dilakukan oleh pengusaha dalam berbisnis, baik di
Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia, liberalisasi media sejak
reformasi 1998 telah membawa pengaruh yang sangat penting dalam
demokratisasi. Perubahan tersebut sangat jelas dan dirasakan langsung
oleh masyarakat. Perkembangan yang kuat pada masa Reformasi ialah,
diperjelas dan dipertegasnya kebebasan pers dalam konstitusi (UUD 1945)
dan Undang-undang Pers dan semakin kukuhnya liberalisasi ekonomi.
Pengaruh liberalisme bersamaan dengan kebebasan media dan demokrasasi
telah mendorong tampilnya neoliberalisme, dan media massa adalah bagian
penting neoliberalisme tersebut. Kebebasan atau liberalisasi media juga
memberikan keleluasaan dalam pemilikan media yang oleh pemodal
kesempatan tersebut bergegas dimanfaatkan karena menjadi bagian dari
strategi bisnis yang menguntungkan.
Sebuah monopoli yang
diberikan pemerintah (juga disebut “de jure monopoli”) adalah bentuk
monopoli koersif dimana pemerintah memberikan keistimewaan eksklusif
untuk individu pribadi atau perusahaan untuk menjadi penyedia tunggal
barang atau jasa; pesaing potensial dikeluarkan dari pasar oleh hukum,
peraturan, atau mekanisme lain penegakan pemerintah. Hak cipta, paten
dan merek dagang adalah contoh monopoli yang diberikan pemerintah.
Monopoli
memiliki potensi besar untuk kerusakan, baik ekonomi dan pemerintahan
yang demokratis (walaupun mereka dapat sangat bermanfaat untuk jenis
lain pemerintah. Sayangnya, tingkat kerusakan penuh biasanya tidak
jelas, setidaknya kepada masyarakat umum, sebagai efek yang tampaknya
menguntungkan. Dan monopolis sering pergi ke panjang ekstrim untuk
menyamarkan atau menyembunyikan efek berbahaya tersebut. Di antara
cara-cara di mana monopoli tidak diatur dapat merusak perekonomian
adalah dengan menyebabkan:
(1) Secara substansi harga lebih
tinggi dan tingkat output yang lebih rendah daripada yang ada jika
produk yang dihasilkan oleh perusahaan kompetitif.
(2) tingkat
kualitas yang lebih rendah daripada yang akan ada. Ini termasuk tidak
hanya kualitas barang dan jasa sendiri, tetapi juga kualitas layanan
yang terkait dengan barang dan jasa.
(3) Kemajuan lambat dalam
pengembangan dan penerapan teknologi baru. Kemajuan teknologi dapat
meningkatkan kualitas (misalnya, kemudahan penggunaan, daya tahan,
ramah lingkungan) produk, dan mereka juga dapat mengurangi biaya
produksi mereka. Inovasi ini tidak diperlukan bagi pelaku monopoli
seperti pada sebuah perusahaan yang sangat kompetitif, dan, pada
kenyataannya, dapat menjadi strategi bisnis yang buruk.
Untuk
mengawasi persaingan usaha di Indonesia, pemerintah telah membentuk
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Komisi ini bertugas untuk
mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak
melakukan praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Hal tersebut telah diatur dalam UU No. 5 tahun 1999.
Kesimpulan
Pada
dasarnya dalam ekonomi Islam, monopoli tidak dilarang, siapapun boleh
berusaha/berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual
(monopoli) atau ada penjual lain, asalkan tidak melanggar nilai-nilai
Islam. Dalam hal ini yang dilarang berkaitan dengan monopoli adalah
ikhtikar, yaitu kegiatan menjual lebih sedikit barang dari yang
seharusnya sehingga harga menjadi naik untuk mendapatkan keuntungan di
atas keuntungan normal, di dalam istilah ekonomi kegiatan ini disebut
sebagai monopoly’s rent seeking behaviour. Sehingga sekarang dapat
dibedakan antara monopoli dan ikhtikar dalam terminology ekonomi Islam.
Waktu
pelarangan ikhtikar menurut Imam al-Ghazali adalah dikhususkan pada
waktu persediaan bahan makanan sangat sedikit sementara orang-orang
sangat membutuhkannya, sehingga tindakan menangguhkan penjualan dapat
menimbulkan bahaya. Namun jika bahan makanan berlimpah ruah dan orang
tidak begitu membutuhkan dan menginginkannya kecuali dengan harga yang
rendah kemudian penjual menunggu perubahan kondisi itu dan tidak
menunggu sampai paceklik, maka tindakan ikhtikar tidak termasuk
tindakan yang membahayakan tersebut
Sumber: http://www.republika.co.id//berita/pendidikan/universitas-muhammadiyah-jakarta/12/04/03/m1wehg-persaingan-usaha-dalam-perspektif-hukum-nasional-dan-islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar